Agama dalam Titik Rawan



Sejak beberapa dasawarsa terakhir ini, terjadi sebuah perkembangan yang cukup signifikan dalam pola keberagamaan manusia. Fakta di mana agama kehilangan nilai-nilai luhurnya di lapangan. Orang-orang beragama seolah tidak lagi merepresentasikan ide dasar kedamaian dalam hidup. Kaum beragama seolah kehilangan kontrol oleh karena kilau gemerlap dunia hingga mereka tidak lagi sanggup untuk menghayati ajaran agamanya. Kita telah lama mengenal orang-orang bijak pembawa misi perdamaian mulai dari bapak monoteis Nabi Ibrahim, hingga Isa dan Muhammad sebagai pelestari ajaran luhur sang buyut. Kita mengenal mereka bukan hanya sekedar pembawa misi ketuhanan, tapi mereka membawa misi perdamian dan cinta untuk seluruh dunia. Dari mereka selayaknya kita banyak belajar bagaimana agama selayaknya diresapi bukan hanya sekedar dijadikan bahan memenuhi kewajiban pengisian kolom agama dalam KTP, atau sebagai kartu tanda boleh masuk masjid, gereja dan tempat ibadah lainnya.
Rentang masa yang terlalu jauh antara Ibrahim, Musa, isa dan Muhammad, berimbas pada kesemakin jauhan penerapan nilai dasar agama antara sang pembawa dan si pengikut. Diakui atau tidak, namun inilah faktanya. Contoh kecil adalah realitas penerapan nilai agama dalam Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad. Islam mengalami berbagai goncangan dikarenakan dinamika politik yang tidak pernah stabil. Pertumpahan darah tidak dapat dihindarkan. Fakta kecil ini menunjukkan betapa pasca wafatnya sang reformis, nilai-nilai Islam yang awalnya menjadi kontrol dalam multi-level kehidupan beralih menjadi alat legitim terhadap sebuah tindakan. Konsekuensinya adalah lahirnya beragam sekte yang sama-sama membawa nama Islam. Padahal sebelum Muhammad wafat sekte ini tidak jua terhendus namanya.
Dalam perkembangan yang lebih mutakhir, agama tidak saja di jadikan sebagai doktrin spiritual, dia juga turut terjun ke gelanggang politik dalam rangka memenangkan sebuah suksesi politik. Bahkan yang semakin marak adalah lahirnya gerakan yang berporos pada tindakan kekerasan, menjadikan agama sebagai topeng untuk memberikan keabsahan, bahwa agama melegalakan tindakan demikian. Agama dijadikan sebuah alat untuk meraup kepentingan dunia dari pada kepuasan spiritual. agama juga sering diluncurkan dalam membalut gerakan sektarian yang berujung pada mengemukanya konflik rasis dan antar agama. tentu semua ini tidak senafas dengan nilai normatif yang dibawa oleh sang pembawa misi pada era kelahiran agama. hal ini tidak hanya terjadi dalam Islam, sebagai sebuah fenomena keagamaan, ini juga demikian kita jumpai dalam agama Kristen, Yahudi, Hindu dan bahkan Budha. Fenomena holy war  dalam agama-agama di dunia ini, seolah menjadi doktrin pembenaran terhadap sikap kontra-perdamaian berikut pemberangusan nilai-nilanya. Kita tidak dapat melacak secara historis gaung holy war ini pada era formatif agama-agama, kecuali hanya sebatas pada upaya bertahan dan tidak ditemuakn jalur lain menempuh jalan. Sejarah-sejarah tentang Jihad misalnya, pada zaman Muhammad hanya dilakukan dalam rangka melakukan pertahanan terhadap serangkain serangan orang pagan Quraish yang tiada henti melakukan pengepungan. Jika pada kemudian terjadi penyerangan dari pihak muslim, semata ditujukan pada upaya menghentikan pertikaian dengan jalan memporak-porandakan barisan musuh. Peristiwa fathu Makkah menjadi definisi konkrit sebagai fakta bahwa penaklukan bukanlah berarti harus dengan mengucurkan darah.
Demikian pada penggalan sejarah ke belakang, terjadi semacam deviasi dalam doktrin holy war, dimana perang dianggap sebuah pekerjaan mulia yang akan diganjar surga sebagai hadiah kepada mereka yang meninggal akibat membela agamanya. Deviasi ini terlihat dengan dipatoknya doktrin ini pada pemahaman “mati di jalan agama”. Maksud dari pada adagium ini adalah “mati dalam peperangan karna membela agama”. Doktrin holy war yang demikian sempit ini, memicu terjadinya gerakan radikalisme atas nama yang sampai hari ini ribuan nyawa melayang, karna agama itu sendiri. Karna ini pula, kaum beragama jadi berlomba-lomba bukan bagaimana mereka hidup di jalan agama, tapi sebaliknya berlomba untuk mati dalam agama. Inilah yang membuat gerakan-gerakan jihadis atau salibis berlomba-lomba untuk mengikuti perang, membunuh serta melakukan berbagai tindakan criminal karna dari sanalah mereka yakin bahwa mereka akan memperoleh surga.
Realitas “perang suci” yang ada dalam tiap-tiap agama sebagaimana dicontohkan diatas, menunjukkan bahwa agama sejauh ini telah memberikan sumbangsih yang cukup signifikan terhadap lahirnya dekadensi moral manusia, dan lebih-lebih agama juga telah memberikan suntikan motivasi pada mereka untuk berlaku buas serta ganas. Kenapa dekadensi, bukankah selama ini agama merupakan sebuah nilai spiritual yang mencoba menuntun manusia agar benar-benar menjadi manusia seutuhnya, pembawa perdamain serta merawat kehidupan dengan kebaikan. Ya, memang demikianlah idealnya sebuah agama, tetapi sekali lagi agama dan penganut agama bukanlah suatu yang integral satu sama lain. Sehingga pandangan nilistis dan sinis terhadap agama, pada dasarnya bukanlah kritik terhadap agama itu sendiri, tapi lebih kepada si penerima agama yang tidak mampu menterjemahkan maksud agama secara universal. Ketika si penerima agama tidak dapat melakukan interpretasi yang baik terhadap maksud agama, maka ia akan terjerembab pada pengahancuran nilai agama itu sendiri.
Maka demikian jelas, bahwa agama adalah sebuah nilai abstrak-universal yang disuguhkan kepada manusia dalam rangka menyembuhkan dahaga moral. Dalam hal ini manusia menjadi poros sentral, mereka berhak menerima serta menjalankan ajarannya atau menolak agama sekalipun. Dalam kondisi ini, manusia dihadapkan pada upaya melakukan interpretasi terhadap suguhan nilai yang ada di depan mereka. Inilah titik ekstrim yang membutuhkan kecerdasan serta kecermatan plus penghayatan extra ordinary dalam memberikan konfirmasi terhadap nilai agama yang masih abstrak itu. Karna pada titik ini, manusia diarahkan pada upaya memberikan interpretasi terhadap nilai, jika mereka salah dalam menangkap nilai itu, maka universalitas nilai suatu agama akan tereduksi sedemikian rupa, sehingga agama kehilangan sari inti dari misinya. Jika universalitas dan sari inti dari sebuah agama sudah didisktorsi oleh si penangkap kebenaran –dalam hal ini manusia-, maka suatu agama akan kehilangan ide-ide dasarnya, sehingga yang melekat hanyalah formalitas, platform, dan serangkain rutinitas sia-sia yang tiada bermakna. Selain itu agama juga hanya akan menjadi milik perseorang yang dengan ketentuan yang berbasis rasis-sektarian yang tidak etis. Dari sini kita bisa membaca corak keberagamaan orang-orang yang sering beranggapan “bahwa yang berbeda dengan islam versi mereka-berarti keluar dari islam”. Diakui atau tidak, mereka telah mereduksi nilai agama.
Realitas singkat diatas benar-benar terjadi di tengah-tengah kita saat ini. Di mana agama hanya tersisa legal formalnya, sedangka esensinya sedikit demi sedikit tergerus. Sehingga manusia yang selayaknya adalah subjek penerima agama, memilih untuk tidak mengindahkan kebenaran apapun dari agama. kemungkinan pertama adalah karna nilai agama sudah tercerabut dari akarnya sehingga tidak mampu menyuguhkan nilai-nilai yang dapat mengobati dahaga. Kemungkinan kedua ketidakberanian dalam memberikan konfirmasi terhadap nilai agama. sehingga pilihan yang mereka ambil adalah ateisme atau paling tidak agnostik. Namun, paling tidak mereka telah memilih pada ketidakmemilihan mereka.
Kondisi  agama yang semakin mengkhawatirkan akibat perilaku umat beragamanya sendiri ini, merupakan wujud dari mandulnya pola interpretasi nilai dalam sebuah agama. interpretasi yang selama ini beredar di internal agama, adalah sebuah pola interpretasi yang kontra-produktif dan hanya berkutat pada tataran epistemologis-yuridis.  Bersambung..

Komentar