Seolah tidak kering dikaji, kasus Ahok dan statementnya
telah mengarahkan corong media untuk turut membesarkannya. Akibatnya, sampai
hari ini kasusnya terus menjadi lahapan halayak untuk tidak terlewat sedikit
pun dalam meneliti perkembangannya. Selain mengikut perkembangan kasus, media
juga menyuguhkan ragam pandangan spekulatif seputar serba-serbi kasus yang
berupaya menampilkan imej buruk, dan ada juga berbagai informasi pencitraan
yang begitu baik. Riwa-riwi media yang demikian ini, menuntut konsumen
berita agar kritis dan mempu menyikapi media dengan berimbang dan imparsial.
Kasus ini juga telah menyita banyak sekali perhatian
tokoh-tokoh agama, figur politik, seniman, cendikiawan bahkan rakyat dari
negeri antah berantah untuk turut mendiskusikan kasus ini. mereka
berlomba-lomba membangun opini dan menggiring pemahaman konsumen media dengan
dengan berbagai upaya. Taraf keberhasilan yang paling tinggi bisa jadi
diperoleh FPI, sebagai sebuah gerakan Islamis dominan. Dengan sebuah gerakan
yang tersistem dan terstruktur dengan massif, organisasi ini mampu mengolah isu
ini hingga menggerakkan massa secara kolosal dari berbagai penjuru untuk
sama-sama mengutuk Ahok yang masih diduga menistakan agama.
Hal ini bermula sejak dideklarasikannya GNPF-MUI , sebuah
gerakan nasional yang berupaya melakukan pengawalan terhadap Fatwa MUI yang
telah dikeluarkan beberapa waktu sebelumnya pasca launching-nya video
Pulau Seribu. Gerakan ini dengan cepat mampu memasarkan dengan baik fatwa bahwa
“Ahok telah menistakan agama” yang ditandaskan MUI. Hal ini dibuktikan dengan
turut hadirnya jutaan ribu masyarakat muslim dari seluruh Indonesia ke Jakarta
dalam rangka melakukan penetrasi terhadap fatwa kontroversial ini.
Terhitung sejak Aksi Bela Islam jilid satu, kemudian
disusul dengan aksi damai 411, hingga Aksi Bela Islam jilid tiga Super Damai
yang tenar dengan nama 212. Nomor-nomor yang terlihat keramat demikian telah
melahirkan berbagai spekulasi bahwa akhir dari pada serangkaian aksi ini adalah
kemenangan MUI yang diyakini wajah dari kemenangan Islam. Aksi ini sekali lagi
telah membuktikan bahwa mereka telah sukses mengumpulkan jutaan umat muslim
yang ikhlas dengan kuantitas yang benar-benar luar biasa.
Aksi Bela Islam dari jilid satu sampai 411 dan 212
setidaknya telah mempertontonkan sebuah kesuksesan penggiringan opini secara
massif dengan menjadikan agama sebagai candu untuk melakukan apa yang sudah
diskenariokan. Maka tak heran, ketakjuban demonstran atau simpatisan aksi yang
tidak turun ke jalan dalam rangkain aksi itu, hanya berputar-putar pada fakta
kuantitas, namun tidak dari segi kualitas.
Kita coba pahami dari semangat awal aksi ini adalah untuk
mengawal fatwa MUI dan meminta kepada pihak berwajib untuk memproses Ahok
sebagai tersangka dengan seadil-adilnya. Secara langsung, mereka telah menaruh
kepercayaan kepada pihak berwajib untuk menjalankan tugasnya dengan objektif.
Permintaan ini coba diimplementasikan dengan menggerakkan massa secara kolosal
ke jantung negara. Mereka meminta kepada seluruh penegak hukum agar
memenjarakan si tersangka. Inilah setidaknya semangat awal mereka dalam
melakukan rangkain aski Bela Islam itu. Mereka meminta kepada berwajib agar
memproses ahok seadil-adilnya.
Namun, jika meneliti dengan lebih saksama gerakan ini
tidak murni meminta objektifitas penyelenggara hukum dalam memproses sebuah kasus,
tapi indikasi kudeta hukum terbaca dengan sangat jelas tatkala serangkain
rencana aksi yang melibatkan masyarakat dari berbagai lapisan dilakukan dalam
rangka meminta dan terus meminta. Bahkan dalam sebuah kesempatan pasca aksi
belas Islam ke tiga kemarin, pentolan aksi ini telah menegaskan bahwa kalau
saja si tersangka tetap bebas, maka dia akan mengkomandoi sebuah aksi revolutif
dengan berupaya menduduki Gedung MPR.
Muatan statement bukanlah sesimpel itu, kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa serangkain aksi berjilid-jilid itu merupakan sebuah
upaya jangka panjang dalam rangka membuka peluang sebesar-besarnya guna
mendikte hukum secara khusus dan pemerintah secara umum. Kauntitas massa yang
membajiri Jakarta merupakan upaya mempresentasikan bahwa mereka telah mewakili keinginan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dengan jutaan massa yang telah
termakan opini tanpa tahu secara terperinci dinamika kasus ini secara riil,
merupakan fakta bahwa aksi damai itu merupakan serangkain aksi intimidatif
terhadap hukum.
Akibat banyaknya massa yang menekan kasus ini secara
konstan, sangat diragukan objektifitas badan berwajib dalam memproses kasus
ini. labelisasi tersangka pun yang disematkan pada Gubernur Inkumben ini
terkesan sangat dipaksakan bahkan lebih tepat sebagai langkah meminimalisir
tekanan demonstran. Tentu logika hukum seperti ini telah mencederai supremasi
hukum yang merupakan amanat reformasi negeri ini. Jadi pada intinya, rentetan
aksi yang melibatkan jutaan massa dalam kasus Ahok ini tidaklah menuntut
penegakan hukum secara objektif dan adil, justru upaya mengintervensi dan
mengkeruhkan hukum menjadi warna yang lebih dominan di dalamnya.
Pada intinya, negara yang sedang dalam masa transisi
membentuk budaya demokratis ini sekali lagi menemui batu ganjal yang harus bisa
disikapi dengan benar oleh seluruh elemen bangsa. Latar fenomena aksi Bela
Islam yang sukses mencuri perhatian dunia itu, lebih jelasnya memperlihatkan
sebuah gerakan menuju mobokrasi, di mana masalah hukum dan kebijakan ditentukan
oleh segenap rakyat jelata yang pada umumnya tidak mengetahui sebuah fakta
dengan baik.(Muhas)
Komentar
Posting Komentar