123 Menuju Mobokrasi



Seolah tidak kering dikaji, kasus Ahok dan statementnya telah mengarahkan corong media untuk turut membesarkannya. Akibatnya, sampai hari ini kasusnya terus menjadi lahapan halayak untuk tidak terlewat sedikit pun dalam meneliti perkembangannya. Selain mengikut perkembangan kasus, media juga menyuguhkan ragam pandangan spekulatif seputar serba-serbi kasus yang berupaya menampilkan imej buruk, dan ada juga berbagai informasi pencitraan yang begitu baik. Riwa-riwi media yang demikian ini, menuntut konsumen berita agar kritis dan mempu menyikapi media dengan berimbang dan imparsial.
Kasus ini juga telah menyita banyak sekali perhatian tokoh-tokoh agama, figur politik, seniman, cendikiawan bahkan rakyat dari negeri antah berantah untuk turut mendiskusikan kasus ini. mereka berlomba-lomba membangun opini dan menggiring pemahaman konsumen media dengan dengan berbagai upaya. Taraf keberhasilan yang paling tinggi bisa jadi diperoleh FPI, sebagai sebuah gerakan Islamis dominan. Dengan sebuah gerakan yang tersistem dan terstruktur dengan massif, organisasi ini mampu mengolah isu ini hingga menggerakkan massa secara kolosal dari berbagai penjuru untuk sama-sama mengutuk Ahok yang masih diduga menistakan agama.
Hal ini bermula sejak dideklarasikannya GNPF-MUI , sebuah gerakan nasional yang berupaya melakukan pengawalan terhadap Fatwa MUI yang telah dikeluarkan beberapa waktu sebelumnya pasca launching-nya video Pulau Seribu. Gerakan ini dengan cepat mampu memasarkan dengan baik fatwa bahwa “Ahok telah menistakan agama” yang ditandaskan MUI. Hal ini dibuktikan dengan turut hadirnya jutaan ribu masyarakat muslim dari seluruh Indonesia ke Jakarta dalam rangka melakukan penetrasi terhadap fatwa kontroversial ini.
Terhitung sejak Aksi Bela Islam jilid satu, kemudian disusul dengan aksi damai 411, hingga Aksi Bela Islam jilid tiga Super Damai yang tenar dengan nama 212. Nomor-nomor yang terlihat keramat demikian telah melahirkan berbagai spekulasi bahwa akhir dari pada serangkaian aksi ini adalah kemenangan MUI yang diyakini wajah dari kemenangan Islam. Aksi ini sekali lagi telah membuktikan bahwa mereka telah sukses mengumpulkan jutaan umat muslim yang ikhlas dengan kuantitas yang benar-benar luar biasa.
Aksi Bela Islam dari jilid satu sampai 411 dan 212 setidaknya telah mempertontonkan sebuah kesuksesan penggiringan opini secara massif dengan menjadikan agama sebagai candu untuk melakukan apa yang sudah diskenariokan. Maka tak heran, ketakjuban demonstran atau simpatisan aksi yang tidak turun ke jalan dalam rangkain aksi itu, hanya berputar-putar pada fakta kuantitas, namun tidak dari segi kualitas.
Kita coba pahami dari semangat awal aksi ini adalah untuk mengawal fatwa MUI dan meminta kepada pihak berwajib untuk memproses Ahok sebagai tersangka dengan seadil-adilnya. Secara langsung, mereka telah menaruh kepercayaan kepada pihak berwajib untuk menjalankan tugasnya dengan objektif. Permintaan ini coba diimplementasikan dengan menggerakkan massa secara kolosal ke jantung negara. Mereka meminta kepada seluruh penegak hukum agar memenjarakan si tersangka. Inilah setidaknya semangat awal mereka dalam melakukan rangkain aski Bela Islam itu. Mereka meminta kepada berwajib agar memproses ahok seadil-adilnya.
Namun, jika meneliti dengan lebih saksama gerakan ini tidak murni meminta objektifitas penyelenggara hukum dalam memproses sebuah kasus, tapi indikasi kudeta hukum terbaca dengan sangat jelas tatkala serangkain rencana aksi yang melibatkan masyarakat dari berbagai lapisan dilakukan dalam rangka meminta dan terus meminta. Bahkan dalam sebuah kesempatan pasca aksi belas Islam ke tiga kemarin, pentolan aksi ini telah menegaskan bahwa kalau saja si tersangka tetap bebas, maka dia akan mengkomandoi sebuah aksi revolutif dengan berupaya menduduki Gedung MPR.
Muatan statement bukanlah sesimpel itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa serangkain aksi berjilid-jilid itu merupakan sebuah upaya jangka panjang dalam rangka membuka peluang sebesar-besarnya guna mendikte hukum secara khusus dan pemerintah secara umum. Kauntitas massa yang membajiri Jakarta merupakan upaya mempresentasikan bahwa mereka telah mewakili keinginan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dengan jutaan massa yang telah termakan opini tanpa tahu secara terperinci dinamika kasus ini secara riil, merupakan fakta bahwa aksi damai itu merupakan serangkain aksi intimidatif terhadap hukum.
Akibat banyaknya massa yang menekan kasus ini secara konstan, sangat diragukan objektifitas badan berwajib dalam memproses kasus ini. labelisasi tersangka pun yang disematkan pada Gubernur Inkumben ini terkesan sangat dipaksakan bahkan lebih tepat sebagai langkah meminimalisir tekanan demonstran. Tentu logika hukum seperti ini telah mencederai supremasi hukum yang merupakan amanat reformasi negeri ini. Jadi pada intinya, rentetan aksi yang melibatkan jutaan massa dalam kasus Ahok ini tidaklah menuntut penegakan hukum secara objektif dan adil, justru upaya mengintervensi dan mengkeruhkan hukum menjadi warna yang lebih dominan di dalamnya.
Pada intinya, negara yang sedang dalam masa transisi membentuk budaya demokratis ini sekali lagi menemui batu ganjal yang harus bisa disikapi dengan benar oleh seluruh elemen bangsa. Latar fenomena aksi Bela Islam yang sukses mencuri perhatian dunia itu, lebih jelasnya memperlihatkan sebuah gerakan menuju mobokrasi, di mana masalah hukum dan kebijakan ditentukan oleh segenap rakyat jelata yang pada umumnya tidak mengetahui sebuah fakta dengan baik.(Muhas)

Komentar