Dari manakah pemikiran Islam bisa dilihat secara
menyeluruh ?
Cakrawala pemikiran dalam dunia Islam yang semakin bergejolak sejak
beberapa dasawarsa terakhir ini menunjukkan bahwa Islam telah menemukan salah
satu wujud fungsinya sebagai sebuah addin yang tidak hanya mengatur
tata-norma keagamaan yang berkutat dalam masalah rutinitas liturgis, tetapi
telah juga menjelma menjadi sebuah agama yang turut aktif dalam pertempuran
pemikiran yang semakin marak di mana-mana. Aktifitas dinamis dalam dunia pemikiran
yang semakin marak ini telah membuat Islam semakin larut dalam berbagai
aktifitas yang pada era formatif tidak kita temukan. Salah satunya aktifitas
Islam dalam dunia akademik telah melahirkan berjuta perspektif tentang sebuah
diskursus yang sebelumnya belum pernah dipermasalahkan. Begitu juga halnya apa
yang terjadi antara Islam dan dinamika politik, telah menyeburkan Islam dalam
serentetan ajaran politis penuh tantangan yang pada ide dasarnya tidaklah Islam
banyak menyinggung masalah ini. Ini merupakan konsekuensi logis dan normal dari
sebuah agama yang telah turun ke muka bumi dan ditangkap oleh ribuan jiwa
manusia.
Ketika agama sudah lepas landas dari pembawanya, terjun menyusuri ruas-ruas
peradaban manusia, menembus batas-batas teritori kehidupan, maka secara
otomatis dia akan berinteraksi secara horizontal dengan lika-liku kehidupan itu
pula. Akibatnya, kontaminasi, sinkretisasi bahkan imitasi terjadi begitu saja.
Bahkan dalam sebuah argumen yang lebih radikal kita dapat mengatakan “bahwa
semua agama yang ada dunia ini sudah tidak murni lagi kecuali sebagian kecil
dari formalitas liturgi”. Selebihnya, - coba bersifat lebih puritan- bagian
dari agama terutama yang berkecimpung dalam dunia pemikiran, filsafat, politik
dan sebagainya telah lama kehilangan purisitasnya. Namun, ini lantas tidak
membuat agama tersebut –khususnya Islam- telah hilang sama sekali otentitasnya.
Karna secara epistemologis, kerangka fundamental dari lahirnya beragam konsep
dalam Islam itu bersumber dari dalam Islam juga. Jadi sejauh apapun perjalanan
sebuah pemikiran yang berangkat dari dan pada Islam, itu tidak mengakibatkan
hilangnya nilai Islam sebagai sebuah agama.
Salah satu yang menarik untuk dilihat dalam sebuah diskursus terbatas kali
ini adalah realita pemikiran dalam Islam, yang semakin lama semakin berkembang
seirama dengan berkembangnya fakta-fakta dunia. Setidaknya ada dua kubu besar
dalam dunia pemikiran Islam yang kita kenali lewat orientasi epistemologinya. Dalam
pembacaan ini, kita mencoba persempit pembahasan pemikiran Islam, mengingat
banyak dan bercabangnya aspek-aspek yang harus didiskusikan dalam masalah ini.
Kita akan coba membaca peta rumit pemikiran Islam yang kompleks ini dengan
berangkat dari objek sentral yang telah melahirkkan derivasi berikutnya.
Membaca peta rumit dengan pendekatan telaah epistemologi
dominan
Selama ini, sejak Islam memutuskan terjun dari langit menuju ke bumi tempat
manusia dengan kompleksitasnya bergulat, maka dia telah larut pula dalam
aktifitas logis keduniaan itu pula. dari awal pergulatan Islam dengan
sejarahnya, ada satu objek dominan yang paling konsisten menjadi sentral
bahasan diskursus pemikiran dari klasik hingga modern. Objek ini adalah dua
agama yang lahir sebelum islam, yakni Yahudi dan Kristen.
Dua agama ini senior serumpun ini memang sejak awal
kemunculan Islam tidak pernah terlepas konfrontasi. Begitu juga respon balik
dari Islam kepada dua agama ini, telah menciptakan ribuan diskusi yang hingga
sekarang tak habis dibahas. Dari objek ini mungkin kita bisa memulai pembacaan
secara gradual terhadap peta-peta rumit yang menjadi persebaran
pemikiran-pemikiran Islam dari klasik hingga modern.
Secara garis besar, pemikiran Islam era formatif menganut sebuah pola
bertahan sekaligus menyerang. Bertahan dari tantangan berat tradisi pagan dan
dua agama sebelumnya yang sudah dianggap penuh deviasi. Sekaligus menyerang
fondasi primordial dalam tradisi agama sekitar –tak terkecuali dua kakaknya.
Dari sini kita bisa mengawali sebuah konklusi sederhana, jika hendak melacak
peta pemikiran Islam di era yang paling awal. Dengan mengidentifikasi objek
yang menjadi lawan kolosal pada waktu itu.
Pada perkembangan berikutnya juga demikian, kita perhatikan konflik
internal politik pasca wafatnya Nabi Muhammad sebenarnya mengalir dalam poros
yang sama. Dinamika konflik yang berkepanjangan serta dikenal dengan istilah
“tahun yang penuh cobaan”, di mana ratusan syuhada’ meninggal, sebagian
berperang melawan sesama muslim, sebagian yang lain dengan non-muslim.
Fakta-fakta sejarah menyajikan konflik yang terjadi pada fase-fase ini adalah
sebuah konfrontasi politik yang memang tidak memperoleh kejelasan haluan dari
Nabi Muhammad sesaat sebelum wafat. Ini adalah kesimpulan mainstream mengingat
yang mereka bicarakan adalah fakta-fakta dari tiap butir tragedi yang ada.
Namun, kesimpulan itu tidaklah membantu menemukan formula pergulatan
pemikiran Islam yang menjadi tulang punggung di balik konflik yang
berkepanjangan itu. Kita hanya akan terbantu menemukannya apabila diskusi kita
arahkan pada telaah epistemologi yang berkembang pada waktu itu. Karna dari
arah ini kita akan memperoleh sebuah pola keterkaitan relasi dalam pemikiran
Islam pada era awal. Dari epistemologilah rentetan pemikiran Islam itu bisa
kita temukan.
Kalau kita perhatikan, fase pasca wafatnya Nabi memang merupakan momentum
yang paling penting dalam rangka memahami genealogi lahirnya pemikiran Islam.
Pada fase ini, Islam tidak hanya berfungsi sebagai sebuah juk-nis dalam
melaksanakan tata ibadah keseharian. Melainkan telah bertransformasi menjadi
sebuah nilai universal yang dalam beberapa sisi terlihat profan. Profanitas
ini tergambar dengan lahirnya
beragam interpretasi terhadap kandungan nilai yang ada. Akhirnya ragam produk
interpretasi itu harus kita letakkan pada altar produk rekonstruksi pemikiran.
Yang bernama pemikiran, tentu bukan sebuah perkara yang dalam kedudukan setara
dengan objek pemikiran itu. Pemikiran adalah buah rekonstruksi nalar dalam
menangkap dan memberi makna pada sebuah realitas. Realitas yang tidak hanya
ditangkap oleh segelintir orang, melainkan oleh banyak orang. Dengan demikian,
apa yang ditangkap oleh subjek terkait sebuah objek tentulah tidak pernah sama
dengan objek itu sendiri.
Kembali pada pembahasan epsitemologi pada fase ini, sebagaimana disinggung
pada paragraf sebelumnya, bahwa pemikiran Islam bisa kita baca secara sederhana
dengan memperhatikan objek yang di hadapinya. Pada fase ini (pasca wafatnya
Nabi), memang Islam tidak terlalu ketat konfrontasinya dengan dua agama
sebelumnya maupun dengan tradisi pagan. Namun, ini tidak lantas membuat Islam
dengan sendirinya juga berubah objek pemikirannya. Dalam fase ini, walaupun
tidak langsung terlibat konflik dengan non-muslim, tetapi epsitemologinya
sebenarnya tidak berubah. Non-muslim tetap menjadi kajian sentral dalam hal
ini, tetapi dalam kerangka yang terlihat lebih rumit.
Kalau pada era formatif, konfrontasi muslim dengan non-muslim mendominasi
pada upaya bertahan dan menyerang asas primordial masing-masing doktrin
teologis, demi mempertegas siapa yang muslim meneruskan ajaran monoteis
Nabi Ibrahim, dan siapa yang sudah keluar dari rambu-rambu monoteis, alias
keluar dari status muslim. maka pasca Nabi wafat, diskursus pemikiran
tetap berorientasi pada siapa yang muslim dan siapa telah keluar dari status
muslim. Akar epistemiknya masih sama, yakni muslim dan non. Dari epistemologi
inilah berangkat rangkaian pemikiran Islam hingga sekarang.
Gelombang pemikiran selanjutnya ditandai dengan stabilitas politik yang
terlihat mapan dalam dinding sejarah, namun masih tampak pertempuran yang kejam
dalam arena pemikiran. Hegemoni Daulah Abbasyiah memang telah membawa
angin segar bagi lahirnya kejayaan Islam sebagai sebuah agama yang memberi
suntikan motivasi peradaban dan kebudayaan. Kemajuan Islam sebagai sebuah
peradaban telah mencapai benua eropa dengan dibukanya Andalusia. Kondisi
politik memang tidak perlu kita bicarakan panjang lebar di sini, tetapi kondisi
pemikiran Islam yang berkembang yang harus kita ke depankan.
Dalam fase ini peta pemikiran Islam belum juga berubah orientasi
epistemologinya. Alias masih berkutat pada masalah muslim dan non muslim. Lahirnya
ragam perdebatan teologis, yang melahirkan Mu’tazilah, Asy’ariiyah, Jabariyyah,
Qodiriyyah dan lain-lain, merupakan wujud dari masih sentralnya pemikiran Islam
dalam masalah Aqidah yang menentukan mana muslim dan mana yang non-muslim. Dalam
fase ini tradisi keilmuan mencapai taraf yang maksimal, buku-buku filsafat dan
alam pemikiran Yunani diterjemahkan dengan segenap keseriusan. Iklim ini
terbentuk karna banyaknya kholifah-kholifah yang mencintaimu dan nuansa diskusi
yang mendalam. Dalam fase ini pula lahir pemikir-pemikir veteran sekelas Imam
Ghazali, Ibnu Rusyd yang dikenal sebagai bapak renaisens yang sebenarnya.
Penggal berikutnya, sejarah pemikiran Islam menyajikan panorama
pemikiran Islam dengan tema purifikasi. Tradisi ini merupakan respon terhadap
mundurnya tradisi berfikir umat Islam yang berakibat pada melemahnya struktur
peradaban dunia muslim secara keseluruhan. Wacana ini dibawa oleh pemikir
kritis Jamaluddin Al-Afghani dan muridnya Muhammad Abduh yang mula-mula
mengkritik berbagai kemapanan pemahaman keislaman yang ada di dunia muslim saat
itu. Sejak wacana tertutupnya pintu Ijtihad, sejak itu pula Taqlid dalam
berbagai hal mengakibatkan umat muslim kerasukan gejala “malas mikir”.
Penutupan pintu Ijtihad tersebut telah membuat umat muslim tak mampu berbuat
banyak, sedangkan di sisi lain barat tengah bangkit dari masa kegelapan mereka,
dengan mendaur ulang semangat pemikiran Yunani.
Dua pemikir tadi telah membuka kembali pintu Ijtihad yang selama ini
dianggap telah usai. Mereka memulai proyek akbar ini dengan mula-mula melakukan
otokritik terhadap beberapa doktrin-doktrin Islam yang sudah mapan. Mengkritik
budaya taqlid serta dogma-dogma yang dianggap telah melahirkan pola serba
praktis dalam hidup. Akibat dari kemapanan pola-pola budaya yang demikian itu
dalam Islam, adalah timbulnya sebuah gaya hidup yang pesimis, kontra-kritik,
dan tidak produktif. Dari sinilah dua pemikir tadi memulai melakukan berbagai
kritik konstruktif terhadap tradisi yang menggejala sejak beberapa dekade
sebelumnya.
Jika kita kita ikuti rangkaian kritik yang mereka lakukan, maka pembacaan akan semakin panjang. Namun karna
kesempatan kita pada kali ini adalah menelaah kesatuan epistemiknya dengan
beberapa formasi pemikiran sebelumnya, maka kita tidak bisa terlalu lama
berdiskusi tetek bengek hasil pemikirannya.
Untuk memahami epsitemologi pemikiran Islam yang berkembang pada fase ini,
kita tidak bisa hanya membaca produk pemikiran dua kesohor ini dengan
meninggalkan yang lain. Yang lain maksudnya adalah tautan-tautan pemikiran di
luar yang juga berkembang dan determinan terhadap lahirnya pola pemikiran yang
mereka bawa ini. Dengan memahami pertarungan pemikiran mereka di lapangan
dengan beberapa kemapanan yang berkembang, kita akan mengetahui bahwa hegemoni
epsitemologi masih tidak berubah sebagaimana penggalan sejarah sebelumnya.
Kontroversi yang mereka peroleh akibat buah pemikiran mereka yang melabrak mainstream
berkembang secara massif di arena fakta, telah membawa mereka pada lobang
perseteruan tajam. Lagi-lagi masalah status muslim dan non-muslim kembali
mengemuka. Dua arsitek serta perumus cikal bakal pembaharu pemikiran Islam
kontemporer ini sangat disayangkan pemikirannya harus direpotkan karna
pro-kontra yang terjadi di lapangan. Ala kulli hal, produk pemikiran mereka
tak begitu membumi, sehingga direct point yang mereka usung tidak
menyeluruh. Hal ini bisa kita saksikan dengan masih mengakarnya tradisi anti-kritik
terhadap kemapanan dalam tradisi keagamaan muslim kita hari ini.
Kesimpulan
Sejenak kita perhatikan lompatan-lompatan besar dalam sejarah Islam yang
ada dalam beberapa buku-buku histografi yang ada, kita akan dikejutkan dengan
fakta-fakta sejarah yang terlihat wajar bahkan dinamis pergerakannya. Dari sekolah
menengah sampai di bangku perkuliahan kita akan menjumpai catatan sejarah yang
mengulas fakta-fakta dan membangun pembacaannya dari ragam tragedi seputar
kemajuan, kemunduran, pencapaian serta peninggalan historis warisan pelakunya. kita
sekilas –terkadang- akan dibuat takjub, kesal dan simpati dengan review fakta
yang disajikan oleh para penulis sejarah. Hingga membuat kita lupa apa yang
sebenarnya sejarah ingin katakan dan bagaimana selayaknya kita berinteraksi
dengan sejarah.
Hal ini baru kita sadar, kalau kita mulai menata pembacaan sejarah kita
dengan berangkat dari satu perspektif paling umum, agar nilai konkrit dari
timbunan fakta yang sudah tersaji dapat kita tarik satu benang merah untuk
memulai lompatan sejarah berikutnya. Perspektif yang direkomendasikan oleh
seorang pemikir muslim kontemporer dari Maroko, yakni Prof. Abid Al-Jabiri,
adalah membaca sejarah dengan meneliti kesatuan epsitemologinya. Pakar serta
budayawan tradisi pemikiran Arab ini menyajikan sebuah refleksi panjang bagi
semua akademisi muslim agar menyusun rangkain rumit sejarah Islam dari perspektif
epsitemik yang menyatukan tiap-tiap percikannya yang kadang tak terbaca.
Dari perspektif ini kita akan tahu bahwa, dari sisi epsitemologi, Islam
sebagai sebuah pemikiran tidak beranjak epsitemologinya. Tulisan di atas,
merupakan buah refleksi kecil yang berupaya membaca pemikiran Islam secara
menyeluruh dengan melihat satu epitemologi paling dominan dari ratusan
epistemologi lainnya.
Fase selanjutnya peta pemikiran Islam masih dalam nuansa fase sebelumnya. Artinya,
dialektika pemikiran masih seputar kontra pembaharuan dan pro pembaharuan. Diskusi
mengenai hal ini kita bicarakan dengan lebih serius pada beberapa esai selanjutnya.
(bersambung).
Komentar
Posting Komentar