Paradigma, dalam perspektif praksis keseharian dapat dimaknai sebagai
sebuah landasan yang melahirkan sebuah kerangka epistemologi dalam bertindak.
Dari landasan ini manusia berangkat menjalani hidupnya menuju tujuannya. Kata
ini secara ontologi telah mempengaruhi pola kehidupan manusia yang semakin hari
semakin beragam. Dari kata ini pula kita dapat mengetahui jalinan dialektis
yang selama ini telah melahirkan sejarah manusia secara keseluruhan. Paradigma
menjadi begitu sentral pembacaanya bagi siapapun yang menyadari pentingnya
perubahan dalam realitas kehidupan. Paradigma merupakan cara pandang yang rata
dimiliki oleh setiap personal yang hidup. Untuk menemukan sesuap nasi orang tak
akan pernah terlepas dari paradigma dalam memandang sebab, cara dan akibat
dalam perjalanan memperolehnya.
Pada perkembangan berikutnya, paradigma ini tidak hanya dimiliki oleh
personalitas yang kecil. sejarah dinamis telah melahirkan ragam paradigma
universal serta lingkup yang lebih luas pula. Perkembangan paradigma universal
ini merupakan sebuah konsekuensi sejarah yang telah melahirkan beragam dinamika
dalam multi-level kehidupan. Isinya adalah sebuah world view yang paten
dimiliki oleh berbagai jenis peradaban yang ada di dunia. Perbedaan geo-kultur,
geo-politik dan lapisan struktur kehidupan yang mengelilingi secara aktif dalam
realitas plural manusia telah menciptakan paradigma yang berbeda pula. peradaban
Eropa, memiliki ciri khas yang membedakan dari peradaban lainnya oleh karena
perbedaan paradigma. World view itulah kata yang pas disandingkan dengan
terminologi paradigma universal.
Paradigma konsumerisme, hedonisme dan lain sebagainya merupakan sebuah
paradigma universal. Universalitas ini dipahami dengan menangkap satu paradigma
dominan yang melahirkan gerak sejarah dan orientas mereka dalam membangun
sejarah berikutnya. Demikian tampak bahwa keberadaan sebuah paradigma menjadi
sentral dalam sebuah organ kehidupan. Tujuan dan cita-cita umum suatu
masyarakat dirumuskan dalam sebuah kerangka general yang dapat menjadi landasan
epistemologi dalam pencapaian yang ditarget. Dari paradigma inilah kemudian terbentuk world view suatu masyarakat
dalam menata dan membentuk sejarahnya sendiri.
Vitalitas paradigma ini kemudian meniscayakan manusia untuk berbuat dan
membangun kesadarannya sebagai orang yang bertanggung jawab pada kehidupannya.
Seiring gerak maju peradaban manusia, seiring itu pula tradisi kritis semakin
terasah sebagai sebuah konsekuensi. Individualisme telah melahirkan sebuah
antitesis yang membuka “topeng hitam” yang menutupi vulnerabilitas serta
kebobrokan sistem yang telah membangun kemapanan yang terlihat begitu kokoh
selama ini. Lahirnya bermacam antitesis terhadap kemapanan ini menjadi ujung
tombak lahirnya sebuah tradisi kritis terhadap sebuah hegemoni. Dari tradisi
kritis terhadap filsafat individualisme ini, kemudian lahir sebagai antitesis
yakni filsafat sosialisme yang terus menerus berupaya menggali berbagai
kekejaman yang dimiliki oleh kemapanan individualisme.
Dari perkembangan sosialisme inilah kita bisa melacak berkembangnya suatu
paradigma yang inter-personal menjadi sebuah paradigma yang inter-kultural. Di
mana paradigma tidak hanya terkunkung dalam satu person saja, tapi beranjak
naik dan terakomodir pada sebuah paradigma universal. Mengakomodir paradigma
memang bukan sebuah perkara ringan, karna dari sini paradigma disusun demi
kepentingan umum. Artinya hanya sebuah komunitas kompetenlah serta memperoleh
legitimasi sosial yang dapat merumuskan sebuah paradigma universal untuk dijadikan
sebagai sebuah kerangka berfikir dalam membangun sejarah dalam sebuah
masyarakat secara simultan dan gradual.
PMII dan Paradigmanya
PMII adalah sebuah wadah representatif dan otoritatif yang memperoleh
legitimasi yuridis dan sosialogis dalam mengakomodir sebuah cita-cita umum
sebuah peradaban bangsa. Dengan demikian PMII memiliki sebuah paradigma general
yang selayaknya mampu membawa perubahan terhadap kondisi krisis yang dialami di
sekitar. Paradigma yang selama ini digunakan oleh PMII merupakan paradigma yang
senantiasa berupaya mengisi relung dialektika kehidupan yang senantiasa berubah
seiring perkembangan zaman. Dari masa ke masa, setidaknya ada tiga perubahan
paradigma yang secara gradual dijadikan sebagai sebuah kerangka berfikir dalam
memahami rangkain rumit kondisi sekitarnya.
Tiga paradigma itu adalah “paradigma arus balik masyarakat pinggiran”.
Paradigma ini digunakan oleh PMII pada periode transisi demokrasi bangsa
Indonesia. Di mana gerak maju masyarkat pinggiran mulai menemukan momentum
aspirasi mereka. Paradigma ini digunakan oleh PMII dalam rangka menentukan arah
pergerakan arus balik masyarkat pinggiran dalam mengambil alih kebijakan negara
yang lebih pro-rakyat, menjunjung tinggi kebebasan serta membuka lokomatif
perubahan yang signifikan dari kultur sampai ke struktur. Paradigma ini eksis
pada periode kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar sampai kepada Sahabat
Saiful Bahri Anshori sebagai ketua umum PB PMII.
Penggunaan paradigma diatas ternilai sukses mengingat fakta di lapangan
yang benar-benar mengharuskan PMII untuk mengawal dan memperdalam nalar
advokatif kultural demi mencapai dan memberikan orientasi baru baru terhadap
gerak maju masyarakat sipil pinggiran.
Sejarah mencumbui waktu, perjalanan mengantar PMII ke
gerbang yang lebih maju. Kondisi temporal bergerak seiring dinamika konteks
sejarah yang terus bergulir. PMII dan paradigmanya juga dipaksa untuk turut bergerak
pula mengisi ruas-ruas kehidupan manusia yang bergerak perlahan. Zaman tidak lagi berbicara mengenai arus balik
masyarakat pinggiran, di mana PMII melakukan advokasi kultural secara konsisten
pada waktu itu. Kali ini waktu telah mengantarkan masyarakat pinggiran untuk
bergerak mengambil alih rezim. Rezim yang sebelumnya menindas dan mengalienasi
kaum pinggiran, kali mereka tergerus dengan gerakan arus balik yang sukses
dikawal oleh putra-putri bangsa yang berada dalam satu barisan dan satu cita
PMII.
Paradigm sift
Demikian paradigma musti
beralih seiring konteks yang beranjak meninggalkannya. Konteks saat ini adalah konsekuensi
reformasi kultural dan struktural yang terjadi yang mengantarkan masyarakat
pinggiran untuk mengambil alih rezim. Reformasi sukses membuka jutaan potensi
manusia yang ada di Indonesia untuk tampil sebagai kompetitor yang mampu
bersaing dengan kondisi pasar modern saat ini. Tidak ada lagi pengekangan,
pengasingan dan pemasungan kebebasan sebagaimana terjadi pada dekade sebelumnya.
Kebebasan terbuka bagi semua lapisan masyarakat untuk turut aktif membentuk sejarahnya sendiri seiring bergema resonansi demokrasi ke penjuru negeri.
Realita di atas menandaskan bahwa pintu kebebasan berekspresi dalam publik
terbuka lebar. Pergulatan sosial dan ekonomi juga menemukan momentumnya untuk
secara bebas bergulir di tengah masyarakat. Individualisme telah menjangkit
negeri ini. Kebebasan paradoksalpun tak terhindarkan. Yaitu suatu kondisi di
mana seseorang bebas bereskperesi namun dibatasi dengan kebebasan orang lain.
Ya, persamaan hak dan kebebasan telah melahirkan kondisi serba paradoks atas
nama reformasi. Seorang bebas berbuat namun di sisi lain harus menjaga
kebebasan orang lain.
Kran kebebasan dan persamaan yang terbuka melahirkan kondisi peradaban
rimba modern. Suatu fakta di mana seorang harus mampu bersaing dengan strategi
jitu jika tidak ingin tertindas. Kebebasan telah melahirkan orang-orang kuat
yang memangsa mereka-mereka yang lemah. Ketidakadilan serta ketimpangan sosial
akibat perbedaan kekuatan yang di miliki masing-masing peserta kompetisi “bebas
ekspresi” menjadi fakta tak terhindarkan serta konsekuensi logis era modern.
Konsekuensi dalam dunia pemikiran juga tidak bisa terhindarkan. Pemikiran
Islam dan sosial lainnya lahir begitu saja atas nama kebebasan. Berbeda sudah
bukan hal yang tabu lagi, menantang mainstream malah menjadi sebuah mainstream.
Otoritas dipreteli dan dikritisi secara gamblang apa adanya. Sehingga
kemapanan struktur tidak akan pernah sampai pada titik final. Dialektika
kehidupan bergerak dinamis menuju proses terbaik dan paling ideal yang
diimpikan oleh segenap manusia.
Genealogi Paradigma Kritis-transformatif
Kondisi manusia modern sebagaimana tergambar di atas, melahirkan sebuah
problem ketimpangan sosial yang meniscayakan insan pergerakan untuk memandang
realitas ini secara kritis dan radikal serta menemukan formula strategi dalam
melakukan transformasi ideal. Demikianlah PMII sadar dan insaf atas realitas
ini, maka paradigmapun disusun dalam rangka memenuhi kewajiban zaman. Lahirlah
sebuah paradigma yang relevan dengan konsekuensi hari ini yakni Kritis
Paradigma Transformatif. Paradigma ini lebih dikenal dengan singkatan PKT.
Paradigma ini adalah yang paling mutahir yang digunakan oleh PMII sebagai
sebuah kerangka berfikir dan melakukan analisa struktur sosial yang sedang
berkembang hari ini. Dalam sejarah, teori kritis memang lahir akibat terjadinya
beragam kemapanan sistem yang menindas dan melahirkan ketimpangan. Dalam
melihat kemapanan sistem tersebut tokoh-tokoh madzhab Frankfurt yang dinakhodai
oleh sosiolog klasik hingga modern seperti Marx Weber, Emil Durkheim, Karl
Marx, Jurgen Habermas, Derrida dan pemikir kritis lainnya merumuskan sebuah
teori kritis yang memandang segala kemapanan sistem dan ideologi dengan kritis
dan tajam.
Dari merekalah teori kritis dalam membaca kondisi sosial modern bermuara. Diskursus
materialisme akhirnya menjadi landasan filosofis mereka dalam membaca
pertarungan yang sedang berlangsung kali ini. Dinamika politik, ekonomi dan
sosial kegamaan tak luput dari pembacaan kritis. Semuanya didekati dengan
radikal dan memperjelas akar permasalahan serta jalan keluar yang ditawarkan. Begitulah
PMII mengadopsi teori ini sebagai fondasi paradigma yang akan dijadikan haluan untuk
menyusun sebuah pergerakan yang berporos pada amanat penderitaan rakyat. Sistem
yang sudah mapan ditelaah relevansitasnya dengan mempertimbangkan dampaknya
kepada kondisi masyarakat. Sistem apapun yang membelenggu dan membuahkan
penderitaan dan ketimpangan kepada masyarakat harus dikritisi dengan mengusung
ide-ide transformatif dan strategi pencapainnya.
Pembakuan PKT memang begitu relevan di tengah kondisi sosial ekonomi yang
sedang berkembang pada lapangan fakta. Dampak kapitalisme ekonomi yang kemudian
merembet ke berbagai sektor kehidupan lainnya telah melahirkan sebuah
ketimpangan yang tidak terlihat jika hanya dilihat bagian luarnya. Namun jika
didekati dengan teori kritis yang radikal dan komprehensif, maka akan tampak
berbagai kecurangan yang sedang menggejala di tiap jengkal kehidupan hari ini. Pendekatan
PKT memang terkenal ampuh dalam “menelanjangi” kebobrokan sistem yang seolah
terlihat mapan dan menggiurkan dengan glamoritasnya.
Demikian PKT sebagai sebuah paradigma sanggup memberi “taring tajam” kepada
lahirnya kader-kader kritis berjiwa transformatif yang sampai hari ini telah
membawa nama PMII semakin berkibar dalam percaturan pembangunan karakter dan
peradaban bangsa. Sumbangsih pemikiran dan aspirasi terobosan dalam dunia
politik, ekonomi dan sosial keagamaan dilakukan PMII dengan tetap berpegang
teguh kepada prinsip Islam Ahlussunnah wal Jamaah sebagai nilai dasar yang tak
terpisahkan.
Where is PKT’S Paradigm ?
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar