Debat Kusir Wahabi-NU di Media



Hasil gambar untuk gambar wahabi vs nu 
Debat kusir masih runcing hingga sekarang antara Wahhabi dan NU. Debat pemikiran antara dua madzhab pemikiran ini bisa di bilang produktif dan tidak produktif sekaligus. Demikian, karna satu sisi perdebatan mereka sering kali dalam rangka mengawal aqidah umat masing-masing. Seperti permasalahan tahlil, tawassul, tabarruk dan lain-lain. Dua pemikiran yang menjurang tajam antara Wahhabi dan NU pada persoalan diatas setidaknya memantik sebuah rekonstruksi bangunan epistemik di kubu masing-masing baik bagi yang kontra ataupun yang pro tahlil dkk. Hal ini juga secara gradual turut membuka pola pemikiran kader mudah Nahdiyyin atau Wahhabiyyin untuk berfikir secara jernih tentang keislaman yang sudah mereka jalani selama ini bagi yang pertama, agar tradisi yang sudah di warisi secara turun temurun tidak hanya sekedar menjadi taklid kebaneran secara membabi buta. Dan bagi yang kedua agar mempertimbangkan dengan jujur otentisitas kebenaran yang mereka usung melalui berbagai media serta even dakwah lainnya. Ini alasan bahwa debat yang mereka lakukan terbilang produktif.
Apabila debat kusir yang seperti itu hanya memperuncing perseteruan antara dua madzhab karna perbedaan epistemologi hingga masing-masing saling membenci, maka perdebatan seperti itu tidak ada hasil apa-apa, kecuali menelurkan permusuhan yang kian sengit. Maka dialog seperti inipun hanya akan berujung pada istilah debat zaman jahiliyyah “kalah-menang”. Bukan lagi ketajaman analisis serta argumen sehat yang di kedepankan melainkan sentimen kultural yang di ke depankan. ini sering timbul di media melalui status-status kemudian di iringi dengan rentetan komentar yang beraroma pedas seperti petasan rentet. Efek negatif pada akhirnya tidak membias pada kedua kubu yang berada dalam lingkar gelanggang debat, melainkan masyarakat awam yang cuma sesekali cengar-cengir  membaca bungkus status tertentu dengan cover gokil. Kepada mereka (awam), status semacam itu bukan hanya tidak memberi ilmu tapi memberikan efek mengemukanya sentimen kultural jilid kedua yang kadang lebih parah karna di iringi dengan taklid buta. (M.H.M)
: Tajuk mon temon




Komentar