Ahok dan Politisasi Agama






Isu penolakan ahok kembali memanas di media. Bukan saja karena sifat – yang katanya- dicap arogan hingga membuat ia banyak diklaim miring oleh sebagian kalangan, tapi yang lebih miris adalah karna status ras dan agamanya yang turut dipermasalahkan. Berbagai tautan bermunculan dari berbagai sumber yang tidak representatif. Sumber seperti inilah yang menjadi penyebab munculnya isu-isu rasis serta berpotensi secara gradual membentuk sentimen-sentimen kecil atas nama agama. Status suku dan agama si Ahok dijadikan salah satu penyebab kenapa dia tidak boleh memimpin DKI Jakarta. Situs-situs abal-abal bermunculan mengajukan berbagai dalil-dolal agar masyarakat DKI tidak memilih Koh Ahok. Dengan landasan ayat-ayat al-Quran yang suci, mereka melakukan politisasi terhadap isu yang sedang merebak. Fatwa haram terhadap pemilihan umat orang non muslim sebagai pemimpin mereka kemas sedemikian rupa seolah-olah ayat-ayat itu telah berkata kepada mereka “jangan biarkan orang non muslim kamu”. Ayat-ayat suci multiinterpretatif itu dipelintir sedemikian rupa hingga bisa sesuai dengan apa yang mereka “anggap” benar.


Situs-situs HTI yang memang konsisten menebar isu-isu kontraproduktif dan mengusung multikonflik dengan non muslim banyak di share oleh kalangan muda-muda awam. Belum lagi situs-situs yang tidak terdeteksi keabsahan pemikirannya mengenai Islam, juga tak luput dari perilaku konsumerisme penghuni medsos yang tidak multikritis. Persebaran media yang sedemikian ramai itu telah membidani lahirnya isu yang berpotensi atas lahirnya konflik antar suku dan agama. Perlahan tapi pasti, mereka telah dipolitisir oleh kepentingan-kepentingan partikular dengan menjadikan agama sebagai salah satu agen untuk mencapai misi mereka. Perlahan tapi pasti, mereka telah memperkosa doktrin agama untuk memuaskan nafsu agamis-politis mereka sendiri. Dengan mengusung ide keharaman atas pimpinan non muslim, orang-orang awam dibuat terperangah oleh bayang fatamorgana keislaman. Seolah-olah inilah wajah Islam yang sebenarnya “bahwa mereka harus memerangi orang yang berbeda agama dari mereka, serta mengucilkan mereka di tengah-tengah pluralitas agama suku di negeri ini”. Tanpa sempat bertanya terlebih dahulu, kenapa non muslim dilarang memimpin negeri ini. Dapatkah mereka menjelaskan dengan baik serta rasional mengenai isu ini. 

Menyikapi isu seperti diatas, ada baiknya kita perhatikan dengan seksama apa saja syarat kepemimpinan dalam Islam. Dengan mengacu pada minimal tiga pandangan ulama klasik yang kedalaman ilmunya sudah tidak diragukan lagi dari dahulu hingga sekarang.
Pandangan pertama oleh Imam Al-Mawardi. Ulama ini memberikan beberapa standard kualifikasi bagi yang hendak menjadi pemimpin tentu dalam perspektif islam. Beliau menulis dalam kitabnya yang paling fenomenal Al-Ahkam As-Sulthoniyyah, bahwa syarat menjadi pemimpin adalah :
1. Rasa keadilan (‘adalah);
2. Pengetahuan (‘ilm);
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
4. Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
5. Berwawasan luas dalam hal administrasi negara
6. Punya keberanian untuk melindungi wilayah Islam dan melaksanakan jihad;
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

Pandangan kedua diberikan oleh Imam Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya Almuqaddimah, berikut pembagiannya :
1. berilmu
2. adil
3. kompetensi
4. sehat panca indera
5. memiliki sifat suku quraisy

Yang ketiga diberikan oleh Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali,
1. Baligh
2. Berakal (tidak gila)
3. Merdeka (bukan budak)
4. Lelaki
5. Keturunan suku Quraisy
6. Sehat panca indera
7. Keberanian untuk perang
8. Punya kompetensi (kifayah)
9. Punya pengetahuan
10. wara’

Itulah pandangan tiga ulama fenomenal dalam Islam yang kealiman serta kearifannya sudah tidak patut dipertanyakan terutama untuk kalangan warga sunni lebih-lebih oleh umat NU. Yang makin menampakkan kejernihan pemikiran beliau bertiga adalah tidak masuknya kategori agama apapun dalam rentetan kualifikasi dalam kitab mereka tersebut. Bukankah mudah saja bagi mereka untuk memasukkannya mengingat mereka sangat dipatuhi ajarannya oleh ribuan umat muslim di dunia. Di sinilah fakta bahwa keilmuan mereka sama sekali murni tanpa ada kepentingan dan tendensi politik. Aspirasi mereka dalam wilayah politik murni dalam rangka menjernihkan konflik serta mempertajam pencapain cita-cita perekrutan pemimpin yang benar-benar bisa membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
Tidak adanya kategori agama sebagai daftar syarat bagi seorang pemimpin menjadi bukti kuat isu-isu agama tidak layak untuk dipertentangkan dalam persoalan suksesi kepemimpinan dalam perspektif Islam. Karna semua standard kualifikasi diatas semuanya bertujuan dalam menunjang perekrutan pemimpin yang orientasinya untuk rakyat dan kemaslahatannya. Hal ini senada dengan kaidah Ushuliyyah yang terkenal “Tashorruful imam ala ro’iyyatihi, manuthun bil mashlahah”.
Semua syarat itu hanya bertumpu pada lahirnya pemimpin yang memiliki segenap perangkat eksternal dan internal, sehingga mampu membawa negara dan rakyat memperoleh jaminan kehidupan yang layak baik moral dan mental.
Satu-satunya poin yang mungkin berpotensi untuk dimaknai sembrono dan rasis adalah munculnya keharusan seorang pemimpin yang memiliki trah Qurays. Ya trah Quraish adalah trah yang mulia, karna dari kalangan merekalah Nabi kita Muhammad Saw dilahirkan. Dari mereka pulalah trah Khulafa’ Arrasyidah dilahirkan, generasi emas dalam kepemimpinan Islam pasca Rasulullah. Sejauh catatan sejarah trah Quraish memiliki keahlian dalam memimpin dan memakmurkan rakyat baik lahir bathin. Mereka tidak hanya piawai sebagai seorang negarawan, tapi juga ahli dalam ilmu keagamaan. Intinya suku Quraish adalah kumulasi dari kesempurnaan kepemimpinan pasca Rasulullah.
Kontekstualisasi dari poin “keharusan pemimpin dari Quraish” ini adalah adanya seorang pemimpin yang mampu memberikan teladan dari keperibadiannya serta cakap bertanggung jawab pada negara rakyatnya. Kontekstualisasi memang “terniscayakan”, mengingat keberadaan suku Quraish yang benar-benar bersifat lokal serta kontruks sejarah waktu itu yang menentukan.
(M.H.M)
Tajuk : SECRET PMII IAIN

Komentar