Mengapa Tidak Boleh Menggambar Wajah Rasulullah?

Di tengah badai serangan pandemi dunia (Corona) yang menjenuhkan pikiran, dunia digemparkan oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat (sahabat Presiden Jokowi) Emmanuel Mercon, eh Emmanuel Macron, yang mengatakan bahwa Islam adalah penyebab krisis yang terjadi di Prancis. Selain itu, dalam sebuah pidatonya, atas nama kebebasan, Macron menyatakan bahwa dia tetap menjamin beredarnya kartun Nabi Muhammad di Prancis, yang tentu saja akan direaksi oleh penduduk dunia.

Kasus kartun Nabi Muhammad adalah hal yang paing dianggap lancang oleh mayoritas umat Islam, oleh karenanya, Presiden Indonesia, setelah berembuk dengan beberapa pimpinan lintas ormas dan lintas agama, (31, Oktober 2020) memberikan kecaman terhadap pernyataan Presiden Prancis tersebut. Presiden Jokowi menilai, apa yang dilontarkan oleh Marcron itu telah melukai hati umat Islam di seluruh dunia.

Hujatan dan caci maki segera berhamburan pasca pernyataan Macron tersebut, seruan boikot tak lama kemudian segera menyesaki media sosial. Aksi boikot yang merupakan reaksi ekonomi politik ini diperagakan oleh berbagai orang dengan tidak membeli produk-produk Made in France. Tapi, yang agak bego’ tak ketulungan adalah sebagian mereka yang memborong produk-produk Prancis untuk kemudian mereka bakar, merupakan langkah yang sangat-sangat “bodoh”. Dalam Islam tentu perbuatan semacam ini adalah mubazir yang pelakunya dianggap saudaranya setan (al-Isra: 17: 27)

Boikot ini biasanya menjadi senjata politik ekonomi terakhir yang dilakukan oleh dua kelompok yang bertikai dalam rangka memperlemah negara musuh dengan tidak membeli barang dagangan mereka. Dengan ini, maka negara yang terkena boikot akan mengalami penyempitan dalam pemasaran barang-barang yang mereka jual. Ini tentu akan berimbas pada stabilitas ekonomi negara bersangkutan. Kalau sebuah boikot sukses, suatu negara bisa dengan mudah dikalahkan dan dilumpuhkan oleh karena ekonominya yang turun drastis bahkan bangkrut.

Reaksi wajar saja dilakukan oleh umat Islam, oleh karena kelancangan Macron dalam mendukung publikasi kembali kartun Nabi Muhammad yang dalam Islam begitu sakral. Nabi Muhammad, adalah sosok manusia yang tidak boleh digambarkan secara fisik, dan ini merupakan hal yang disepakati oleh umat Islam dari masa ke masa. Meski harus kita akui, ada banyak sekali riwayat-riwayat yang mencoba mendeskripsikan Nabi Muhammad dari sisi fisiknya hingga begitu detail. Meski demikian, pada intinya, Nabi Muhammad tetaplah lebih dari sekadar penggambaran-penggambaran fisikal yang bisa kita temukan dalam berbagai kitab Sirah Nabawiyah tersebut. Fisik serta segala hal yang melekat kepada beliau tak bisa digambarkan hanya dengan kata-kata, karena beliau adalah manusia dengan segala kekhasan yang dimilikinya.

Hal ini sama dengan upaya kita untuk mendeskripsikan calon istri kepada seorang teman yang belum mengetahui dan bertanya “seperti apa sih calon istrimu?”. Kita mungkin akan menceritakan sisi fisiknya dengan sudut pandang keindahan, tingkah laku bahkan segala hal yang detail di dalamnya. Pada intinya, itu semua belumlah cukup, kita harus berani berkata “lusa kukenalkan!”. Karena bagaimana pun kita gambarkan, tak akan pernah selesai dan sempurna sampai akhirnya kita kenalkan secara langsung.

Menuangkan wajah Nabi Muhammad ke dalam sebuah media gambar tentu saja sangat tidak pantas. Hal ini karena si pelukis atau animator atau kartunisnya pasti akan mencoba “membayang-bayangkan” sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ia kenal dan ketahui secara langsung. Apalagi dibuat dengan tujuan untuk merendahkan, ini tentu merupakan kelancangan. Ibarat seorang yang tak pernah mengenal dan mengetahui kita secara langsung atau melalui foto, hanya melalui penuturan orang lain belaka. Lalu seorang mencoba melukis wajah kita dengan hanya bermodalkan gambaran dari orang lain, bisa kita pastikan, itu adalah sebuah kelancangan. Apalagi dilukis atau dibuat animasi dalam rangka merendahkan. Tentu saja kita akan bereaksi.  

Selain itu, figuritas Nabi Muhammad tidaklah bisa disamakan dengan manusia lain, karena posisinya dalam Islam adalah “totalitas” dari kepribadiannya. Nabi Muhammad adalah Soko Guru yang tak hanya didengar ucapannya dalam hal agama belaka, segala hal terkait fisik bahkan tingkah laku beliau merupakan sumber ajaran yang kuat nuansa religiusnya. Meski hal ini tidaklah mengharuskan kita untuk memaksa “berjenggot” dengan gaya khas Nabi, atau berambut ikal yang mempesona sepertinya. Tapi, gaya Nabi dari sisi fisiknya, mulai dari rambut sampai kaki adalah bentuk dari “kerapian, kesederhanaan, kebersihan, wibawa bahkan ketenangan” seorang yang harus dicontoh oleh setiap pribadi muslim.

Dalam sebuah riwayat, misalnya disebutkan tentang “rambut Nabi yang selalu tersisir rapi dan juga jenggotnya yang begitu teratur”- bahkan ada riwayat yang terkesan berlebihan karena mencoba menerka jumlah dari bulu jenggotnya- merupakan gambaran dan sekaligus ajaran tentang keharusan seseorang untuk tampil rapi sehingga sedap dipandang. Meski juga kerap kita dengar, bahwa Nabi Muhammad adalah sosok yang sangat sederhana dari sisi ekonomi, bahkan bisa dikatakan miskin, namun semua itu tak menghalangi Nabi untuk berpenampilan menawan dan penuh wibawa. Oleh karenanya, ada sebuah penggalan syair bijak Arab yang berkata:

و اذًا تصبك خصاصةٌ فتجمّل

“Maka jika dirimu ditimpa sebuah kesusahan, maka berhiaslah- sehingga orang lain tak mengira bahwa dirimu dalam keadaan susah”.

Dalam hal ini menggambar wajah Nabi Muhammad yang didukung eksistensinya atas nama kebebasan oleh Presiden Macron adalah sebuah sikap yang bisa melukai hati setiap orang muslim yanga ada di dunia dengan alasan di atas. Hal ini apalagi kita melihat dari sisi hikmah “mengapa tidak boleh menggambar wajah Nabi?”. Di sini, al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi yang masyhur dengan bukunya Simtud Duror (untaian permata) memberikan hikmahnya, berikut akan dikutipkan ucapan beliau:

و إن كانت الألسن لا تفي بعشر معشارِ اوصافِ ذلك الموصوف * تشويقاً للسامعين * من خواص المؤمنين * و ترويحاً للمتعلقين بهذا النور المبين.

Meski pun lisan tidak akan mampu mendeskripsikan secara tuntas dari seper-sepuluh dari totalitas sifat-sifatnya Nabi, hal ini karena untuk menambah kerinduan bagi pendengar, yang merupakan kekhasan orang-orang beriman serta menyenangkan orang-orang yang senantiasa terpautnya hatinya kepada cahaya yang begitu benderang ini”.

Buku Maulid Simtud Duror tulisan Habib Ali al-Habsyi di atas adalah buku yang paling sering dibaca di bulan Rabiul Awal seperti saat ini. Namun, demikian pun, menurut beliau, tulisannya ini belum mampu mengungkap sifat-sifat (lahir batin) Nabi yang merupakan cahaya agung tersebut. Keterbatasan penggambaran atas Nabi ini adalah sebuah anugerah yang bisa menambah bumbu kerinduan dan kecintaan seorang mukmin kepada Nabi-nya.

Rasa penasaran yang pasti dimiliki oleh seseorang akan memberikan energi positif yang mampu mendorongnya untuk terus bergerak maju mencari kejelasan dari sebuah objek yang belum benderang bentuk dan citranya dalam benak. Itu sebabnya, mengapa agaknya Nabi Muhammad pernah bersabda dalam sebuah riwayat yang cukup terkenal:

زر غبّا تزدد حبّا

Berkunjunglah jarang-jarang, maka akan menambah rasa cinta”

Hal ini berarti, “semakin lama terjadinya pertemuan, semakin menebalkan rasa kerinduan”. Hal ini tentu saja harus dibaca dalam konteks hubb (cinta) atau mahabbah (kecintaan). Kalau dibaca dalam konteks yang lain, misalnya teman kenalan biasa, mungkin pertemuannya akan terasa biasa saja. Dalam hal konteks ini, ketidaktergambaran wajah Nabi bisa menimbulkan rasa kerinduan yang medalam dan kecintaan luar biasa, yang mana semua ini akan melahirkan energi positif yang bisa mendorong seseorang untuk menjadi lebih dekat lagi dengan tuntutan dan ajaran Nabi. Al-Quran memancing manusia untuk merindukan manusia agung ini dengan cara menampilkan Nabi dari sisi-sisinya yang paling mempesona, yaitu akhlak serta perjuangannya yang sangat memukau.

وانّك لعلى خلق عظيم

Dan sungguh Engkau (Muhammad) benar-benar di atas akhlak yang agung”.

Kata-kata yang singkat, namun begitu substansial pengertiannya ini menunjukkan totalitas dari keluhuran Nabi Muhammad Saw dari berbagai sisi kehidupannya. Al-Quran memang tidak pernah membicarakan Nabi dari sisi fisiknya, hal ini agaknya dimaksudkan, agar manusia lebih rasional dalam mencintai Nabi, yakni karena kemuliaan akhlaknya. Akhlak Nabi merupakan cerminan dari al-Quran yang hidup dan bergerak nyata. Seluruh tindak-tanduk Nabi menunjukkan totalitas dari ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupannya sarat dengan ilmu dan hukum, sehingga dengan keduanya umat Islam bisa terus mendapat petunjuk dalam hidupnya.

انا مدينة العلم

 Aku lah kota ilmu”.

Hal ini juga membuktikan, bahwa mencintai Nabi Muhammad merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang sangat penting. Karena, manakala seorang mencintai lawan jenis itu karena ada objek yang tampak di depannya. Kalau tidak ada lawan jenis di hadapan kita, siapa yang hendak kita cintai? Mampukah seorang mencintai seorang wanita yang tak pernah nampak wujud materialnya? Cinta yang demikian ini ada karena terlebih dahulu dideterminasi oleh wujud materi yang menjadi objek, sehingga cintanya kemudian berlabuh. Kalau tak pernah ada objek yang bersifat formal, bagaimana cintanya akan tumbuh?

Ini tentu saja berbeda dengan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Saw yang begitu spiritual. Ini disebabkan oleh karena Nabi Muhammad tak pernah kita lihat bentuknya. Kita hanya beriman dan percaya, kalau beliau adalah Rasulullah yang membawa ajaran terbaik bagi umat terbaik. Kepercayaan itu akan melahirkan rasa cinta, setelah kita melihat bagaimana cintanya Nabi Muhammad kepada umatnya. Ini boleh jadi, yang membedakan dakwah Nabi Muhammad dengan Nabi-nabi sebelumnya. Kalau para Anbiya’ sebelum Nabi Muhammad mengganggap kaumnya atau pengikutnya dengan “umatku”, sedangkan umat Nabi Muhammad sendiri dipanggilnya dengan penuh rindu dengan “saudaraku”.

اخواني هم الذين لم يروني ولكنّهم يؤمنون بي

Saudaraku adalah mereka yang tak pernah melihatku, namun mereka beriman kepadaku”.

Dalam al-Quran, di akhir surat al-Taubah, Allah menjelaskan betapa Nabi Muhammad berdakwah dengan dasar kecintaannya kepada kita:

لقد جاءكم رسولٌ من انفسكم عزيز عليه ما عنتّم حريصٌ عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم

Telah datang kepada kalian seorang Rasul dari diri kalian sendiri, berat terasa segala penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) atas kalian, dan penuh belas kasihan dan kasih sayang bagi orang-orang beriman”

Nabi Muhammad adalah Rasul sebagaimana utusan sebelum-sebelumnya.

قل ما كنت بدعًا من الرسل..

Katakanlah (Muhammad), aku bukan lah utusan yang pertama di antara sekian yang lain..”

Hanya saja, beliau membawa risalah yang tidak hanya berbekal wahyu secara formal, dia adalah manusia biasa yang dianugerahi sesuatu yang paling murni dari manusia, yakni cinta kepada manusia lainnya. Inilah mengapa berkewajiban untuk menyambut cinta dan kasih Rasulullah Muhammad dengan segenap jiwa raga mereka.

Pada intinya, kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad bukanlah sepertinya cinta seseorang kepada istri atau anak-anaknya, melainkan lebih dari itu, adalah kecintaan terhadap segala kebenaran yang dibawa olehnya.

ثلاث من كنّ فيه وجد حلاوة الايمان: ان يكون الله ورسوله احبّ اليه مما سواهما...

Ada tiga perkara, yang mana jika seorang berada di dalamnya pasti akan mendapat manisnya iman: yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari lainnya...”.

Kembali kepada masalah “mengapa tidak boleh mencitrakan wajah Nabi Muhammad?”, jawabannya adalah “memperparah kerinduan”.

 


Komentar