Bisa gak ya, ceramah agama yang biasa disampaikan di acara Maulid Nabi itu lebih keren dari sekadar memamparkan keagungan Rasulullah yang terlalu simbolik? Mahas tiba-tiba menbuka obrolon dengan pertanyaan sambil mengendarai sepeda motor miliknya. Aku agak risih dan memutuskan untuk tak menggubris terlalu panjang.
“Maksudmu?” Singkatku.
“Sepertinya kok aku
terlalu jenuh untuk mendengar ceramah Maulid Nabi yang isinya cuma tentang
detik-detik kelahiran Nabi, warisan-warisan akhlak dan pekerti yang beliau
tinggalkan, dan berbagai kemuliaan serta kemukjizatan yang diberikan Allah
kepadanya. Emangnya, Nabi kita cuma bisa dilihat dari tiga perspektif
besar itu ya? I dont think so.” Ujar Mahas bergaya bergaya bak Menteri
Yasonna Laoly.
Terus apa tawaranmu? Aku
bertanya gerah dan setengah acuh.
“Itu loh, jalan utama
kampung tempat Tabligh Akbar tadi sengsaranya minta ampun. Bebatuan krikil
tajam ditambah lumpur tanah merah, sementara kanan kiri jalan terlalu sesak
dengan perumahan-perumahan besar yang sangat elit kelihatannya. Aku rasanya
lebih sreg kalau para dai itu bersuara lebih membumi, menghayati lebih mendalam
lagi terhadap kebutuhan masyarakat serta balutan problem yang mereka hadapi
hari ini”.
Jawaban panjang ala Mahas ini
membuatku tersentak, kalau saja aku yang menyetir sepeda motor, mungkin aku
akan segera banting sentir mendengar jawaban sekaligus keluhan anti-mainstream
yang dilontarkan Mahas. Aku teringat, acara Tabligh Akbar yang kami datangi
barusan memang dalam rangka memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad Saw. Kami
diundang untuk datang oleh seorang teman ngopi yang kebetulan menjadi
ketua panitia di acara ini.
Penceramah yang kami dengar
barusan adalah seorang dai kondang untuk satu segmen masyarakat tertentu. Dia
bertubi-tubi mengeluarkan kata-kata “betul” sambil dijawab dengan dengan penuh
semangat oleh jamaah yang hadir “betul”. Isi ceramahnya yang disampaikan memang
bukan seputar politik, karena isu Pilpres 2019 yang super panas baru saja usai,
dan rakyat Indonesia mulai masuk ke tahap cooling down dan rekonsiliasi
sosial.
“Bagiku seorang yang didapuk
untuk menjadi seorang dai harus benar-benar mampu hadir di dalam setiap problem
masyarakat yang berlapis-lapis. Bukan hanya seputar permasalahan agama an
sich, tapi juga kepada beberapa permasalahan sosial, ekonomi dan etika juga
perlu disentuh. Isu pembangunan itu kan termasuk isu sosial yang berat tuh,
nah, bagiku salah satu tugas dai ada adalah menyampaikannya dengan bahasa yang
mudah dicerna ”.
“Maksudmu, masalah
pembangunan jalan rusak di jalan kampung tadi itu?” Aku bertanya dengan sedikit
penasaran.
“Ia, itu kan jalan udah bertahun-tahun
nasibnya masih malang aja, tak ada perubahan yang signifikan. Padahal
kemajuan dalam sektor terknologi dan industri termasuk property
berkembang pesat di situ” Kata Mahas.
Aku mengangguk sambil ngehhem
tanda memahami akan kegelisahan Mahas. Tapi aku yakin, bahwa belum tuntas
Mahas mengeluarkan kegelisahannya. Masih ada “se-ember” presentasi akan
kegelisahan yang membumbung di otaknya. Aku segera menimpali untuk mengetahui
kegelisahan Jomblo lawas ini.
“Bukannya ada juga dai –meski
tak banyak- yang mencoba menyelipkan isu sosial dan pembangunan yang hari ini
melanda masyarakat, Has?”.
Siapa misalnya? Mahas
bertanya balik.
“Kayak alm. KH.
Zainuddin MZ dulu sangat keren merangkai permasalahan yang membelit antara
agama dan sosial dengan baik. Dia mampu mengkritik berbagai perubahan negatif
dalam ruang sosial dengan menjadikan agama sebagai bahan utama untuk mengurai
permasalahan ekonomi bahkan politik dengan baik. Menuruku, ya”
“Begitu juga UAS, Habib Bahar
Ust. Adi Hidayat dan beberapa dai kondang hari ini juga memiliki beberapa
pandangan keagamaan yang bisa memberikan dampak pada perubahan sosial yang
tinggi. Naiknya isu Populisme Islam sejak 2016-2019 ini bagiku menjadi satu
bukti bahwa peranan para dai selama ini dalam mobilisasi sosial cukup
determinan. Buktinya sekarang banyak umat Islam yang sudah mulai melek politik,
isu ekonomi, bahkan mungkin soal geo-politik”. Ujarku panjang lebar seperti tak
mau kalah dengan Mahas.
Aku masih saja menunggu
jawaban Mahas ketika motor kami berhenti sejenak untuk mengisi bensin eceran di
pinggir jalan. Sambil kusodorkan uang 10.000, -karena aku tahu Mahas jarang
punya uang kecil (-apalagi yang besar)- aku melanjutkan presentasiku di hadapannya.
“Aku itu tetap yakin, Has.
Kalau para dai itu dengan pemahaman agama mereka yang kuat turut memberikan
sumbangsih terhadap pengentasan berbagai krisis yang memang tak pernah berhenti
di negeri ini. Krisis apapun itu, salah satunya adalah krisis moral anak
bangsa, jangan nt berpikir kalau para dai tak ambil bagian dalam
membenahi itu semua. Meski sampai hari ini, yang namanya perzinahan dan
lain-lain tetap banyak, sebanyak lontaran ayat la taqrabuz zina dan la
la lain yang disampaikan oleh para dai.” Ini argumentasi pamungkasku
untuk mengimbangi pernyataan Mahas.
Seperti melihat bendera putih
diangkat kepermukaan, Mahas menghidupkan sepeda motor dan menjalankannya pelan,
sambil memulai presentasi dengan rokok di tangan kiri. Kucondongkan mukaku ke arah
depan untuk mendengar jawaban atau pertanyaan lanjutan dari Mahas.
“Aku sepakat dengan
jawabanmu, Wa’. Para dai itu memang memberikan pengaruh terhadap kerja-kerja
besar dalam pembenahan karakter bangsa ini, ini fakta sejarah yang sudah kita
amini selama bertahun-tahun. Bahwa negeri ini tak akan lepas dari peran agama
Islam berikut seluruh komponen dan pranata keagamaan yang ada di dalamnya. Sejarah
Indonesia, boleh jadi adalah sejarah Islam Nusantara yang selama ini
dibincangkan oleh PBNU”. Ujar Mahas dengan sesekali menoleh ke arahku.
“Tapi”, ujar Mahas, kata
“tapi” ini adalah cara khas darinya untuk memulai sebuah diskusi yang lebih
panjang. Aku setia menunggu kata yang akan dilontarkan Mahas setelah dia
menghisap rokok yang sudah mendekati busa.
“Kita harus sadar, Wak. Bahwa
agama bukan gudang bagi segenap jawaban yang ada di masyarakat. Karena kita
tahu, bahwa sekalipun al-Quran adalah kitab yang di dalamnya memuat secara
komprehensif berbagai permasalahan manusia mulai dari ujung kanan sampai ujung
kiri, tapi kita juga yakin bahwa al-Quran bukanlah kitab yang berisi tutorial
tentang pengentasan kemiskinan, pengerasan jalan becek atau aturan tentang
keharusan buang sampah pada tempatnya. Al-Quran paling banter hanya menyajikan
prinsip-prinsip universal dari semua itu, tak ada disebutkan dalam al-Quran
bagaimana sebuah ide normatif harus dilaksanakan, karena Allah Mahatahu bahwa
hamba-Nya cukup bisa untuk merasionalisasikan doktrin-doktrin prinsipil yang
ada di dalam kita mereka”.
“Nah, poinnya adalah, kalau
al-Quran adalah kitab yang hanya berisi berbagai prinsip-prinsip fundamental
dan universal layaknya sebuah pedoman yang tak akan termakan waktu, maka tugas
para dai-lah untuk merasionalisasikan perintah-perintah Tuhan itu dengan
segenap kecakapan intelektual yang mereka miliki. Apa fungsinya dai kalau Cuma
bisa mengutip ayat ta’awanu al al-birri wat taqwa, wala ta’awanu al al-itsmi
wal ‘udwan, sedangkan dia tak mampu memahami makna gotong royong serta
bagaimana seharusnya dia dilaksanakan sampai pada tahap paling materil di
masyarakatnya?”
“Karena bagiku, kalau seorang
dai hanya mampu mengutip, namun tak mampu memberikan bimbingan dalam skala
mikro dan detail dari sebuah problem, maka dia tak lebih dari sekadar pengutip
saja dari firman Allah, bukan pemberi makna apalagi pengupaya bagi perwujudan
ide-ide universal al-Quran”.
“Jadi gimana saranmu?”
Ujarku yang sedikit capek akibat perjalanan panjang ditambah terpaan hujan.
“Ada baiknya kalau para dai
itu sedikit saja mencoba untuk menghidupkan karakter dan keluhuran Nabi dalam
kehidupan yang lebih sederhana. Menjadikan beliau sebagai sosok yang
benar-benar bisa diterima oleh manusia-manusia hari ini. Segala akhlak Nabi
yang menjadi suri tauladan benar-benar dihidupkan bukan hanya dengan
cerita-cerita penuh keajaiban yang mengitarinya, tapi melalui penerjemahan akan
wujudnya yang agung dalam konteks kekinian kita, berikut segala problem yang
dihadapi kita hari ini.”
Kongkritnya aja gimana, Has?
Bahasamu terlalu mewah dan terkesan terlalu Jabirian sentris.
“Gini loh, andai saja
ada dai yang berani berceramah kayak gini “Hadirin yang dirahmati oleh Allah
dan dirindukan oleh Rasulullah, jalan di depan kampung kita itu rusak. Yuk, rame-rame
ke sana, kita benahi jalan itu, agar warga di sini bisa berjalan dengan enak,
cepat dan lancar. Kalau jalannya bagus, maka insha Allah ekonomi kita
juga akan bergerak bagus”.
Aku mengangguk pelan,
memikirkan gagasan Mahas yang agak nyentrik itu. Hati kecilku bergumam,
“Ya Allah, ampunilah dosa anak ini!.”
Bersambung..
Komentar
Posting Komentar